Kartun benny

Senin, 21 Mei 2012

MEMPROYEKSIKAN PERKEMBANGAN INDUSTRI PROPERTI

Tahun ini perkiraan permintaan properti super mewah yang dibeli oleh orang-orang terkaya bakal melonjak. Faktor krisis AS dan Eropa tak memberikan pengaruh terhadap minat orang-orang terkaya menanamkan uangnya di properti mewah.
Knight Frank dan Citi Private Banking memperkirakan jumlah permintaan dari orang-orang superkaya dunia atas properti komersial akan terus tumbuh dengan perkiraan jumlah transaksi dunia akan mencapai USD74,1 miliar pada 2012 atau naik 5%. Itulah keterangan tertulis Knight Frank yang diberitakan belum lama ini (3/4).
Laporan Knight Frank menyebutkan meskipun terjadi resesi di seluruh Eropa, namun beberapa lokasi penting properti mewah di Eropa masih menunjukan permintaan yang tinggi. Hal ini karena banyak faktor yang memengaruhi para orang kaya dunia tersebut tetap membeli properti mewah.
Gaya hidup dan motif investasi masih menjadi alasan utama mereka, rata-rata rumah-rumah itu merupakan rumah kedua. Misalnya dari survei, dari 16% dari orang kaya yang disurvei memiliki rumah kedua. Sebanyak 40% punya rumah kedua dengan lokasi pinggir pantai di antaranya di Inggris dan AS.
Investasi properti mewah menjadi porsi utama dari aset portofolio investasi pada tahun 2011 lalu menunjukkan kenaikan alokasi global terhadap investasi untuk real estate sebesar 19%. Lantas, bagaimana prospek sektor properti ini di Indonesia?.
Salah satu “kendala” yang bakal dihadapi kalangan pengusaha properti nasional adalah beleid yang belum lama ini dikeluarkan oleh Bank Indonesia, yakni Down-Payment (DP atau tanda jadi) untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di Indonesia. Dengan pengetatan persyaratan pengajuan KPR, banyak pihak menilai aturan ini akan menekan permintaan properti, khususnya perumahan.
Namun fakta di lapangan ternyata tidak demikian. Peraturan baru BI mengenai pengetatan kredit antara lain terhadap persyaratan pengucuran KPR dinilai oleh para pelaku usaha properti tidak akan berimplikasi negatif terhadap perkembangan sektor properti di Indonesia.
Mereka tidak melihat implikasi negatif terhadap peraturan baru mengenai besaran Loan To Value (LTV) yang dikeluarkan oleh BI. Dengan demikian, tidak akan terdapat banyak perubahan terhadap perkembangan sektor properti di Indonesia pada 2012. Apalagi seperti pemilik untuk kondominium atau apartemen kelas atas, para pembelinya lebih banyak membeli properti dengan menggunakan uang tunai baik secara bertahap atau secara langsung dan sedikit yang menggunakan KPR.
Alasan yang lain, peraturan BI terkait LTV tidak akan berpengaruh terhadap sektor properti karena besaran uang muka yang ditetapkan minimal adalah 30%. Selama ini bank telah menetapkan rata-rata 20% untuk uang muka, sehingga perbedaannya sedikit atau tidak terlalu memberatkan konsumen.
Sektor yang lebih akan berdampak adalah sektor pembiayaan otomotif atau kendaraan bermotor yang selama ini bisa diperoleh dengan uang muka hingga sebesar nol persen. Konsumen inilah yang jauh lebih sensitif terhadap perobahan DP atau LTV untuk kredit kendaraan bermotor.
Sebelumnya, BI mengeluarkan peraturan baru mengenai besaran LTV untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan uang muka untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Menurut BI, aturan itu dikeluarkan untuk meningkatkan kehati-hatian bank dalam pemberian KPR dan KKB serta untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan.
Ketentuan ini tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit, dan ditetapkan maksimal 70%. Ruang lingkup KPR yang dimaksud meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe bangunan lebih dari tujuh puluh meter persegi.
Beleid baru dari BI terseebut kemungkinan juga tidak akan menjadi kendala serius untuk pengembangan properti di beberapa daerah yang menunjukkan signal pertumbuhan yang baik. Ini lantaran potensi pengembangan properti di Jakarta dan Bali masih sangat tinggi, dan peningkatan status peringkat Indonesia menjadi “Investment Grade” (Layak Investasi) menjadi salah satu faktor utama pemacunya.
Investasi di sektor properti di dua kota besar Indonesia ini masih sangat tinggi. Sampai akhir tahun ini, pertumbuhan propertinya diperkirakan bakal mencapai 15%-20%. Harga lahan di Jakarta dan Bali masih jauh lebih murah dibandingkan dengan kota-kota besar di dunia. Kondisi ini juga menjadi faktor penting bagi pertumbuhan properti di kedua kota tersebut.
Harga tanah di Jakarta sekitar USD2.900 (Rp26 juta) per meter persegi jauh lebih murah di bandingkan Monaco yang harganya mencapai USD58.300 (Rp535 juta) per meter persegi. Kondisi tersebut merupakan salah satu pemacu pertumbuhan di sektor properti di Jakarta.
Lebih lanjut, investor juga melihat Jakarta sebagai barometer perekonomian di Indonesia. Selain itu, stabilitas sosial politik merupakan kunci utama untuk berinvestasi di sektor properti. Dibandingkan dengan Thailand, stabilitas sosial politik di Indonesia jauh lebih kondusif. Untuk masalah transportasi juga sangat menunjang, walaupun masih ada beberapa yang harus diperbaiki.
Sektor properti di Bali juga diminati oleh pihak asing, pasalnya banyak obyek wisata yang menarik di Pulau Dewata itu. Indikator peningkatan properti di Bali dapat dilihat dari minat pihak asing yang banyak membeli vila. Kebanyakan investor di Bali berasal dari Australia, Singapura, Malaysia, Inggris dan Jerman.
Yang juga menarik, konon sektor properti, baik dalam aspek pasokan maupun permintaan, tidak dipengaruhi secara langsung oleh penundaan ataupun kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang diperkirakan akan tetap dapat terealisasikan pada tahun 2012 ini. Ini dikarenakan profil konsumen properti di Indonesia tergolong ke dalam kelas menengah ke atas dengan daya beli yang kuat dan stabil.
Pada saat itu warga masyarakat juga dinilai akan telah terbiasa dengan harga BBM bersubsidi baru yang telah ditetapkan sehingga pengaruh itu dapat dianggap wajar. Maklum, sebenarnya aspek yang paling berpengaruh terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi adalah daya beli masyarakat level bawah.
Jadi bila mereka berencana ingin membeli rumah tahun ini, tetapi ternyata ada kenaikan harga BBM bersubsidi, maka mereka bisa saja menunda rencana pembelian properti karena pengeluaran lebih didahulukan untuk kebutuhan sehari-hari yang diperkirakan akan naik seiring kenaikan harga BBM bersubsidi.
Untuk sektor properti perkantoran, diperkirakan juga tidak akan ada pengaruhnya meski terdapat kenaikan biaya sewa karena biaya untuk membayar perkantoran otomatis telah menjadi bagian dari kebutuhan perusahaan dan bukan pengeluaran pribadi pemilik.
Secara umum, pertumbuhan pasar properti dalam negeri belakangan ini tidak lepas dari membaiknya fundamental perekonomian Indonesia serta menguatnya sentimen investor termasuk dari luar negeri terhadap iklim investasi di Tanah Air. Apalagi, dengan kondisi seperti sekarang ini di mana Eropa dan AS masih fokus pada usaha untuk keluar dari krisis sehingga banyak investor internasional yang mencari pasar alternatif.
Indonesia merupakan salah satu pilihan yang menarik apalagi sejak diraihnya status investment grade baru-baru ini. Oleh karena itu, pasar properti di Indonesia ke depan juga masih akan terus menunjukkan pertumbuhan yang menarik dan sangat berpotensi untuk menjadi pilihan investasi yang menguntungkan.

sumber : http://www.businessnews.co.id/ekonomi-bisnis/memproyeksikan-perkembangan-industri-properti.php

Tidak ada komentar: